Friday 2 December 2011

the power of maksiat Vs the power of writing

Oleh : Heriadi, S.Pd.I

Dalam sebuah hadis rasulullah Saw,  “Barangsiapa meninggalkan maksiat terhadap Allah karena takut kepada Allah maka ia akan memperoleh keridhoan Allah. (HR. Abu Ya’la)”. hadis ini mengindikasikan adanya relasi klasikal antara mengeksekusi larangan allah dengan hidayah allah SWT. Dengan kata lain, Konsep ihsan adalah kunci untuk mendapatkan petunjuk-Nya.
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Maksiat didefenisikan sebagai perbuatan yg melanggar perintah Allah; perbuatan dosa (tercela, buruk, dsb). Jika kita kaji lebih radikal lagi akan hadis diatas maka akan diperoleh suatu argumentasi bahwa semakin menanjak kurva kemaksiatan seseorang, maka semakin besar pula potensi seseorang tersebut untuk tidak mendapatkan petunjuk Allah SWT. Termasuk diantaranya petunjuk ketika seorang penulis hendak memburu ide sebagai santapan intelektual yang akan disajikan dalam sebuah tulisan.
Menulis pada dasarnya adalah sebuah aktivitas ilmiah yang membutuhkan amunisi berupa ide-ide menarik, menggelitik, atau solutif yang diolah oleh senjata akal dan kemudian ditembakkan oleh pena. Sebagai amunisi, ide adalah kunci dalam merangkai sebuah tulisan. Nah, jika ditarik benang merah dari hadis diatas, maka ketika seorang penulis menjadikan maksiat sebagai kegiatan “extra-kurikuler”, maka kegiatan reguler yakni menulis akan statis bahkan bisa jadi mengalami stagnansi, sebab gravitasi kemaksiatan akan membawa si penulis ke arah yang semakin jauh dari petunjuk allah.
Satu contoh akan pengaruh kemaksiatan terhadap pengetahuan manusia adalah ketika Imam syafii’i hendak menghadapkan hafalannya kepada sang guru, beliau melintasi sebuah pasar yang ramai. Dan oleh karna tiupan angin yang cukup kencang kala itu, akhirnya rok salah seorang akhwat tertiup angin hingga betisnya terlihat oleh Imam syafi’i, dan beliau beristighfar “ astagfirullah”. Walhasil, ketika sampai ke kediaman sang guru, 1 KITAB yang sudah dihafal oleh imam syafi’ sebelum melihat aurat si akhwat, tiba-tiba HILANG dari memori hafalannya.....!!!.
Masya allah... Imam syafi’ saja yang tidak diragukan lagi ketakwaannya, masih sempat kehilangan jejak ilmu karna melihat betis. Jika dikomparasikan dengan maksiat hari ini, melihat betis adalah maksiat yang masih kecil. Di zaman edan ini, bukan hanya betis yang bisa disaksikan dimana-mana, tapi jauh lebih dari betis.  
Jadi, jika kita hendak menjadi penulis handal, maka sebisa mungkin hindarilah perbuatan maksiat, sebab gravitasi maksiat akan menguras daya nalar anda dalam menemukan ide-ide briilan..
Wassalam.                                                                              

No comments:

Post a Comment

Friday 2 December 2011

the power of maksiat Vs the power of writing

Oleh : Heriadi, S.Pd.I

Dalam sebuah hadis rasulullah Saw,  “Barangsiapa meninggalkan maksiat terhadap Allah karena takut kepada Allah maka ia akan memperoleh keridhoan Allah. (HR. Abu Ya’la)”. hadis ini mengindikasikan adanya relasi klasikal antara mengeksekusi larangan allah dengan hidayah allah SWT. Dengan kata lain, Konsep ihsan adalah kunci untuk mendapatkan petunjuk-Nya.
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Maksiat didefenisikan sebagai perbuatan yg melanggar perintah Allah; perbuatan dosa (tercela, buruk, dsb). Jika kita kaji lebih radikal lagi akan hadis diatas maka akan diperoleh suatu argumentasi bahwa semakin menanjak kurva kemaksiatan seseorang, maka semakin besar pula potensi seseorang tersebut untuk tidak mendapatkan petunjuk Allah SWT. Termasuk diantaranya petunjuk ketika seorang penulis hendak memburu ide sebagai santapan intelektual yang akan disajikan dalam sebuah tulisan.
Menulis pada dasarnya adalah sebuah aktivitas ilmiah yang membutuhkan amunisi berupa ide-ide menarik, menggelitik, atau solutif yang diolah oleh senjata akal dan kemudian ditembakkan oleh pena. Sebagai amunisi, ide adalah kunci dalam merangkai sebuah tulisan. Nah, jika ditarik benang merah dari hadis diatas, maka ketika seorang penulis menjadikan maksiat sebagai kegiatan “extra-kurikuler”, maka kegiatan reguler yakni menulis akan statis bahkan bisa jadi mengalami stagnansi, sebab gravitasi kemaksiatan akan membawa si penulis ke arah yang semakin jauh dari petunjuk allah.
Satu contoh akan pengaruh kemaksiatan terhadap pengetahuan manusia adalah ketika Imam syafii’i hendak menghadapkan hafalannya kepada sang guru, beliau melintasi sebuah pasar yang ramai. Dan oleh karna tiupan angin yang cukup kencang kala itu, akhirnya rok salah seorang akhwat tertiup angin hingga betisnya terlihat oleh Imam syafi’i, dan beliau beristighfar “ astagfirullah”. Walhasil, ketika sampai ke kediaman sang guru, 1 KITAB yang sudah dihafal oleh imam syafi’ sebelum melihat aurat si akhwat, tiba-tiba HILANG dari memori hafalannya.....!!!.
Masya allah... Imam syafi’ saja yang tidak diragukan lagi ketakwaannya, masih sempat kehilangan jejak ilmu karna melihat betis. Jika dikomparasikan dengan maksiat hari ini, melihat betis adalah maksiat yang masih kecil. Di zaman edan ini, bukan hanya betis yang bisa disaksikan dimana-mana, tapi jauh lebih dari betis.  
Jadi, jika kita hendak menjadi penulis handal, maka sebisa mungkin hindarilah perbuatan maksiat, sebab gravitasi maksiat akan menguras daya nalar anda dalam menemukan ide-ide briilan..
Wassalam.                                                                              

No comments:

Post a Comment