Thursday 12 January 2012

Transformasi profesi dari “Politikus” ke “Poli tikus”

Oleh : Heriadi, S.Pd.I
Menjadi seorang tokoh politik adalah cita-cita yang lagi nge-trend di era millenium ke 3 ini. Dalam spasi waktu yang relatif singkat, Pemilu selalu hadir ibarat tamu yang yang rutin berkunjung ke masyarakat dari pemilihan kepala desa,
bupati, gubernur, hingga presiden. Belum lagi pemilihan anggota legislatif seperti anggota dewan kabupaten, provinsi dan pusat yang secara de facto menjadi tamu paten masyarakat setiap 4 tahun sekali. Tapi tak disangkal bahwa memang demikianlah wajah sistem demokrasi yang menjunjung teguh semboyang  “suara rakyat adalah suara tuhan”.
Dalam setiap arena pertarungan politik dari sabang sampai marauke, selalu ada cerita yang manjadi wacana yang populer meskipun sifatnya tentatis namun kontinyu. Salah satu dari berbagai wacana tersebut adalah “politikus” yang bertransformasi menjadi “poli tikus”. Politikus adalah para pelaku politik yang memiliki visi yang jelas dan formalitas yang secara de jure legal. Sedangkan “poli tikus” terdiri dari dua kata yaitu poli artinya “banyak” dan tikus adalah kata khiasan yang ditujukan untuk koruptor. Jadi, “poli tikus” adalah koruptor-koruptor yang merampok uang negara. Ketika “ sang poli tikus” beraksi, Lagi-lagi pihak yang mengalami “kebangkrutan massal” adalah rakyat yang menjadi tonggak pelaku demokrasi. Politikus yang pada saat detik-detik kampanye menyuarakan bahwa akan membela hak-hak rakyat dengan gaya retorika yang meyakinkan, ternyata tidak ubahnya “serigala dalam selimut” atau “musuh berbulu domba”.
Berdasarkan hasil CPI Tahun 2011 yang dilakukan oleh Transparency Internasional (TI) atau induk TII , dari 183 negara yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat 100. Prestasi negatif tersebut mesti segera diminimalisir dengan menanamkan jiwa anti koruptor dalam diri generasi bangsa. Meskipun wacana Organisasi rektor-rektor universitas hari ini adalah menetapkan mata pelajaran “anti-korupsi” sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dapat direalisasikan, jika wacana tersebut tidak dikawal dengan baik oleh pihak-pihak terkait, khususnya para pendidik, maka wacana tersebut hanya akan menjadi wacana hampa.
Benar kata-kata bijak yang mengatakan bahwa “ Untuk membunuh kuman pada diri seorang manusia, janganlah membunuh manusianya namun tumpaslah kuman yang ada dalam tubuh manusia itu”. Jika pesan bijak tersebut dimaknai dengan bijak pula, maka makna yang dapat dipetik adalah untuk memusnahkan benih-benih korupsi di Indonesia, maka yang perlu dimusnahkan adalah jiwa –jiwa korupsi yang ada dalam diri generasi bangsa. Dan untuk mencegah tumbuh suburnya jiwa korupsi tersebut, maka tarbiyah adalah solusi yang strategis. Hanya melalui pendidikan yang baiklah proses internalisasi nilai-nilai kehidupan baik nilai spiritual, nilai intelektual, dan nilai moral dapat diaplikasikan.

No comments:

Post a Comment

Thursday 12 January 2012

Transformasi profesi dari “Politikus” ke “Poli tikus”

Oleh : Heriadi, S.Pd.I
Menjadi seorang tokoh politik adalah cita-cita yang lagi nge-trend di era millenium ke 3 ini. Dalam spasi waktu yang relatif singkat, Pemilu selalu hadir ibarat tamu yang yang rutin berkunjung ke masyarakat dari pemilihan kepala desa,
bupati, gubernur, hingga presiden. Belum lagi pemilihan anggota legislatif seperti anggota dewan kabupaten, provinsi dan pusat yang secara de facto menjadi tamu paten masyarakat setiap 4 tahun sekali. Tapi tak disangkal bahwa memang demikianlah wajah sistem demokrasi yang menjunjung teguh semboyang  “suara rakyat adalah suara tuhan”.
Dalam setiap arena pertarungan politik dari sabang sampai marauke, selalu ada cerita yang manjadi wacana yang populer meskipun sifatnya tentatis namun kontinyu. Salah satu dari berbagai wacana tersebut adalah “politikus” yang bertransformasi menjadi “poli tikus”. Politikus adalah para pelaku politik yang memiliki visi yang jelas dan formalitas yang secara de jure legal. Sedangkan “poli tikus” terdiri dari dua kata yaitu poli artinya “banyak” dan tikus adalah kata khiasan yang ditujukan untuk koruptor. Jadi, “poli tikus” adalah koruptor-koruptor yang merampok uang negara. Ketika “ sang poli tikus” beraksi, Lagi-lagi pihak yang mengalami “kebangkrutan massal” adalah rakyat yang menjadi tonggak pelaku demokrasi. Politikus yang pada saat detik-detik kampanye menyuarakan bahwa akan membela hak-hak rakyat dengan gaya retorika yang meyakinkan, ternyata tidak ubahnya “serigala dalam selimut” atau “musuh berbulu domba”.
Berdasarkan hasil CPI Tahun 2011 yang dilakukan oleh Transparency Internasional (TI) atau induk TII , dari 183 negara yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat 100. Prestasi negatif tersebut mesti segera diminimalisir dengan menanamkan jiwa anti koruptor dalam diri generasi bangsa. Meskipun wacana Organisasi rektor-rektor universitas hari ini adalah menetapkan mata pelajaran “anti-korupsi” sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dapat direalisasikan, jika wacana tersebut tidak dikawal dengan baik oleh pihak-pihak terkait, khususnya para pendidik, maka wacana tersebut hanya akan menjadi wacana hampa.
Benar kata-kata bijak yang mengatakan bahwa “ Untuk membunuh kuman pada diri seorang manusia, janganlah membunuh manusianya namun tumpaslah kuman yang ada dalam tubuh manusia itu”. Jika pesan bijak tersebut dimaknai dengan bijak pula, maka makna yang dapat dipetik adalah untuk memusnahkan benih-benih korupsi di Indonesia, maka yang perlu dimusnahkan adalah jiwa –jiwa korupsi yang ada dalam diri generasi bangsa. Dan untuk mencegah tumbuh suburnya jiwa korupsi tersebut, maka tarbiyah adalah solusi yang strategis. Hanya melalui pendidikan yang baiklah proses internalisasi nilai-nilai kehidupan baik nilai spiritual, nilai intelektual, dan nilai moral dapat diaplikasikan.

No comments:

Post a Comment