Wednesday 8 May 2019

Guru, Teladan dalam mempertahankan nilai kearifan lokal


Indonesia adalah negara besar yang terdiri dari 17.000  pulau, 714 suku dengan 1.100 lebih bahasa daerah. Ditengah kemajemukan tersebut, tumbuh berbagai macam kearifan lokal yang menjadi khazanah bangsa Indonesia. Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri.

Semua daerah di Indonesia memiliki nilai kearifan lokal. Di Sulawesi Barat dikenal istilah Malaqbi. Dalam bahasa Mandar, Malaqbi dapat diartikan sebagai nilai-nilai luhur, mulia, rendah hati dan keutamaan dalam sifat-sifat berharkat dan bermartabat. Di Maluku, terdapat suatu nialai kearifan lokal yang disebut Pela Gendong yang berarti suatu ikatan persatuan dengan saling mengangkat saudara. Di Sunda dikenal Silih asah yang bearti saling memberi pengetahuan, Silih asuh yaitu saling menebar cinta kasih atau rasa saling menyayangi, dan silih asuh atau sikap saling memelihara atau saling menjaga dalam masayarakat. Di Poso ada Sintuwu Maroso yaitu persatuan yang kuat. Masih banyak lagi nilai – nilai kearifan lokal yang menjadi harta karun di negeri Jamrud khatulistiwa ini.
Sayangnya, berbagai penelitian dan fakta – fakta empiris menunjukan bahwa nilai – nilai kearifan lokal tersebut semakin terkikis oleh medernisasi yang kebabalasan. Generasi hari cenderung menatap dunia globalisasi dan berpaling muka dari kearifan lokal di daerahnya. Maraknya kasus – kasus amoral yang menyerang generasi muda seperti narkoba, tawuran, Korupsi, pergaulan bebas salah penyebabnya adalah mereka tidak lagi menjungjung tinggi nilai – nilai tersebut.
Jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka lambat laun bangsa kita akan kehilangan identitas yang selama ini menjadi faktor pembeda kita dengan bangsa lain. Dulu, orang yang lebih muda sangat menghormati orang yang lebih tua bahkan ketika si muda lewat di depan yang tua, mereka akan membungkukkan badan sambil berkata “Tabe’”, “Punten”, atau “Permisi”. Sekarang nilai itu sudah mulai pudar. Banyak anak – anak yang tidak lagi respect  pada orang yang lebih tua bahkan gurunya. Bukankah setiap hari tersaji video viral di media sosial tentang siswa yang menghina gurunya, bahkan sampai memukul guru mereka sendiri. Demikianlah potret sederahana dari jatuhnya nilai – nilai kearifan lokal ke jurang amoral.
Dari problematika diatas, guru tidak boleh tinggal diam membiarkan virus globalisasi menggerogoti generasi bangsa. Guru harus mengambil peran dengan menguatkan kembali nilai – nilai kearifan lokal tersebut. Memberikan keteladanan adalah cara terbaik dalam merefresh nilai - nilai tersebut.  
Berikut beberapa contoh mengaplikasikan nilai – nilai kearifan lokal di lingungan sekolah :
1.      Berbicara yang santun kepada peserta didik
Dalam konteks masayarakat Mandar yaitu konsep “Malaqbi”, Akhiran Ta’ dan akhiran Mu sama – sama berarti kepemilikan  (Possesive). Misal ketika hendak mengucapkan “Buku kamu” maka ada dua pilihan yaitu “Bukumu” atau “Bukuta’ ”. Keduanya memiliki arti yang sama secara tekstual. Tapi secara konteks kesantunan, kata “Bukuta’ “ lebih santun “daripada “Bukumu”.
Contoh lain ketika hendak mengatakan “Kamu mau pergi kemana?”, ada dua pilihan yaitu “Mau kemanako” dan “Mau kemanaki’?”. Pun keduanya memiliki arti yang sama, tapi kalimat “Mau Kemanaki’? jauh lebih santun daripada “mau kemanako”.
Nah, dalam kehidupan sehari – hari, guru seyogyanya memberikan keteladanan dalam berucap santun. Guru lebih memilih menatakan “Pulpenta’” daripada “Pulpenmu” dan lebih baik mengatakan “Kemanaki’?” daripada “kemanaki”?.  Dengan demikian peserta didik akan tertanam dibenaknya “sedangkan guruku santun terhadapku sedangkan aku lebih muda, masa saya yang tidak santun terhadap yang lebih tua.
2.      Menunjukan perilaku sopan kepada peserta didik
Untuk membuat anak- anak paham tentang kearifan lokal “Permisi, punten, atau Tabe’ ”, maka guru perlu melakukankanya tidak sebatas menjelaskannya. Tidak masalah jika guru “Tabe” atau permisi ketika lewat di depan peserta didik. Hal inilah yang dimaksud mendidik dengan keteladanan.
3. Menjadi pribadi yang berbudi luhur, peduli dan mencintai peserta didik.



No comments:

Post a Comment

Wednesday 8 May 2019

Guru, Teladan dalam mempertahankan nilai kearifan lokal


Indonesia adalah negara besar yang terdiri dari 17.000  pulau, 714 suku dengan 1.100 lebih bahasa daerah. Ditengah kemajemukan tersebut, tumbuh berbagai macam kearifan lokal yang menjadi khazanah bangsa Indonesia. Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri.

Semua daerah di Indonesia memiliki nilai kearifan lokal. Di Sulawesi Barat dikenal istilah Malaqbi. Dalam bahasa Mandar, Malaqbi dapat diartikan sebagai nilai-nilai luhur, mulia, rendah hati dan keutamaan dalam sifat-sifat berharkat dan bermartabat. Di Maluku, terdapat suatu nialai kearifan lokal yang disebut Pela Gendong yang berarti suatu ikatan persatuan dengan saling mengangkat saudara. Di Sunda dikenal Silih asah yang bearti saling memberi pengetahuan, Silih asuh yaitu saling menebar cinta kasih atau rasa saling menyayangi, dan silih asuh atau sikap saling memelihara atau saling menjaga dalam masayarakat. Di Poso ada Sintuwu Maroso yaitu persatuan yang kuat. Masih banyak lagi nilai – nilai kearifan lokal yang menjadi harta karun di negeri Jamrud khatulistiwa ini.
Sayangnya, berbagai penelitian dan fakta – fakta empiris menunjukan bahwa nilai – nilai kearifan lokal tersebut semakin terkikis oleh medernisasi yang kebabalasan. Generasi hari cenderung menatap dunia globalisasi dan berpaling muka dari kearifan lokal di daerahnya. Maraknya kasus – kasus amoral yang menyerang generasi muda seperti narkoba, tawuran, Korupsi, pergaulan bebas salah penyebabnya adalah mereka tidak lagi menjungjung tinggi nilai – nilai tersebut.
Jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka lambat laun bangsa kita akan kehilangan identitas yang selama ini menjadi faktor pembeda kita dengan bangsa lain. Dulu, orang yang lebih muda sangat menghormati orang yang lebih tua bahkan ketika si muda lewat di depan yang tua, mereka akan membungkukkan badan sambil berkata “Tabe’”, “Punten”, atau “Permisi”. Sekarang nilai itu sudah mulai pudar. Banyak anak – anak yang tidak lagi respect  pada orang yang lebih tua bahkan gurunya. Bukankah setiap hari tersaji video viral di media sosial tentang siswa yang menghina gurunya, bahkan sampai memukul guru mereka sendiri. Demikianlah potret sederahana dari jatuhnya nilai – nilai kearifan lokal ke jurang amoral.
Dari problematika diatas, guru tidak boleh tinggal diam membiarkan virus globalisasi menggerogoti generasi bangsa. Guru harus mengambil peran dengan menguatkan kembali nilai – nilai kearifan lokal tersebut. Memberikan keteladanan adalah cara terbaik dalam merefresh nilai - nilai tersebut.  
Berikut beberapa contoh mengaplikasikan nilai – nilai kearifan lokal di lingungan sekolah :
1.      Berbicara yang santun kepada peserta didik
Dalam konteks masayarakat Mandar yaitu konsep “Malaqbi”, Akhiran Ta’ dan akhiran Mu sama – sama berarti kepemilikan  (Possesive). Misal ketika hendak mengucapkan “Buku kamu” maka ada dua pilihan yaitu “Bukumu” atau “Bukuta’ ”. Keduanya memiliki arti yang sama secara tekstual. Tapi secara konteks kesantunan, kata “Bukuta’ “ lebih santun “daripada “Bukumu”.
Contoh lain ketika hendak mengatakan “Kamu mau pergi kemana?”, ada dua pilihan yaitu “Mau kemanako” dan “Mau kemanaki’?”. Pun keduanya memiliki arti yang sama, tapi kalimat “Mau Kemanaki’? jauh lebih santun daripada “mau kemanako”.
Nah, dalam kehidupan sehari – hari, guru seyogyanya memberikan keteladanan dalam berucap santun. Guru lebih memilih menatakan “Pulpenta’” daripada “Pulpenmu” dan lebih baik mengatakan “Kemanaki’?” daripada “kemanaki”?.  Dengan demikian peserta didik akan tertanam dibenaknya “sedangkan guruku santun terhadapku sedangkan aku lebih muda, masa saya yang tidak santun terhadap yang lebih tua.
2.      Menunjukan perilaku sopan kepada peserta didik
Untuk membuat anak- anak paham tentang kearifan lokal “Permisi, punten, atau Tabe’ ”, maka guru perlu melakukankanya tidak sebatas menjelaskannya. Tidak masalah jika guru “Tabe” atau permisi ketika lewat di depan peserta didik. Hal inilah yang dimaksud mendidik dengan keteladanan.
3. Menjadi pribadi yang berbudi luhur, peduli dan mencintai peserta didik.



No comments:

Post a Comment