Indonesia
adalah negara besar yang terdiri dari 17.000 pulau, 714 suku dengan 1.100 lebih bahasa
daerah. Ditengah kemajemukan tersebut, tumbuh berbagai macam kearifan lokal
yang menjadi khazanah bangsa Indonesia. Kearifan
lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan
dari bahasa masyarakat itu sendiri.
Semua
daerah di Indonesia memiliki nilai kearifan lokal. Di Sulawesi Barat dikenal
istilah Malaqbi. Dalam bahasa Mandar,
Malaqbi dapat diartikan sebagai
nilai-nilai luhur, mulia, rendah hati dan keutamaan dalam sifat-sifat berharkat
dan bermartabat. Di Maluku, terdapat suatu nialai kearifan lokal yang disebut Pela Gendong yang berarti suatu ikatan
persatuan dengan saling mengangkat saudara. Di Sunda dikenal Silih asah yang
bearti saling memberi pengetahuan, Silih
asuh yaitu saling menebar cinta kasih atau rasa saling menyayangi, dan silih asuh atau sikap saling memelihara
atau saling menjaga dalam masayarakat. Di Poso ada Sintuwu Maroso yaitu persatuan yang kuat. Masih banyak lagi nilai –
nilai kearifan lokal yang menjadi harta karun di negeri Jamrud khatulistiwa
ini.
Sayangnya,
berbagai penelitian dan fakta – fakta empiris menunjukan bahwa nilai – nilai
kearifan lokal tersebut semakin terkikis oleh medernisasi yang kebabalasan.
Generasi hari cenderung menatap dunia globalisasi dan berpaling muka dari
kearifan lokal di daerahnya. Maraknya kasus – kasus amoral yang menyerang
generasi muda seperti narkoba, tawuran, Korupsi, pergaulan bebas salah
penyebabnya adalah mereka tidak lagi menjungjung tinggi nilai – nilai tersebut.
Jika
hal ini dibiarkan terus menerus, maka lambat laun bangsa kita akan kehilangan
identitas yang selama ini menjadi faktor pembeda kita dengan bangsa lain. Dulu,
orang yang lebih muda sangat menghormati orang yang lebih tua bahkan ketika si
muda lewat di depan yang tua, mereka akan membungkukkan badan sambil berkata “Tabe’”, “Punten”, atau “Permisi”. Sekarang
nilai itu sudah mulai pudar. Banyak anak – anak yang tidak lagi respect pada orang yang lebih tua bahkan gurunya.
Bukankah setiap hari tersaji video viral di media sosial tentang siswa yang
menghina gurunya, bahkan sampai memukul guru mereka sendiri. Demikianlah potret
sederahana dari jatuhnya nilai – nilai kearifan lokal ke jurang amoral.
Dari
problematika diatas, guru tidak boleh tinggal diam membiarkan virus globalisasi
menggerogoti generasi bangsa. Guru harus mengambil peran dengan menguatkan
kembali nilai – nilai kearifan lokal tersebut. Memberikan keteladanan adalah
cara terbaik dalam merefresh nilai -
nilai tersebut.
Berikut
beberapa contoh mengaplikasikan nilai – nilai kearifan lokal di lingungan
sekolah :
1.
Berbicara yang santun kepada peserta didik
Dalam konteks masayarakat Mandar yaitu konsep
“Malaqbi”, Akhiran Ta’ dan akhiran Mu sama – sama berarti kepemilikan (Possesive). Misal ketika hendak mengucapkan
“Buku kamu” maka ada dua pilihan yaitu “Bukumu” atau “Bukuta’ ”. Keduanya
memiliki arti yang sama secara tekstual. Tapi secara konteks kesantunan, kata
“Bukuta’ “ lebih santun “daripada “Bukumu”.
Contoh lain
ketika hendak mengatakan “Kamu mau pergi kemana?”, ada dua pilihan yaitu “Mau
kemanako” dan “Mau kemanaki’?”. Pun keduanya memiliki arti yang sama, tapi kalimat
“Mau Kemanaki’? jauh lebih santun daripada “mau kemanako”.
Nah, dalam
kehidupan sehari – hari, guru seyogyanya memberikan keteladanan dalam berucap
santun. Guru lebih memilih menatakan “Pulpenta’” daripada “Pulpenmu” dan lebih
baik mengatakan “Kemanaki’?” daripada “kemanaki”?. Dengan demikian peserta didik akan tertanam
dibenaknya “sedangkan guruku santun
terhadapku sedangkan aku lebih muda, masa saya yang tidak santun terhadap yang
lebih tua.
2.
Menunjukan perilaku sopan kepada peserta didik
Untuk membuat anak- anak paham tentang kearifan lokal
“Permisi, punten, atau Tabe’ ”, maka
guru perlu melakukankanya tidak sebatas menjelaskannya. Tidak masalah jika guru
“Tabe” atau permisi ketika lewat di depan peserta didik. Hal inilah yang
dimaksud mendidik dengan keteladanan.
3. Menjadi
pribadi yang berbudi luhur, peduli dan mencintai peserta didik.
No comments:
Post a Comment