Monday 20 February 2012

Jadi Sarjana, Siapa takut????

Oleh : Heriadi, S.Pd.I
 
Seiring menjamurnya arus perkembangan sains di semua lini, kuantitas kaum pelajar juga semakin melesat. Setiap tahun, jutaan alumni dicetak sebagai sarjana. Realitas seperti ini menimbulkan efek plus-minus yang bisa jadi fatal atau sebaliknya.
Meledaknya jumlah mahasiswa setiap tahun yang tidak ditopang
oleh lapangan pekerjaan yang memadai menjadi pertanyaan tersendiri bagi sebagian mahasiswa yang khawatir dengan masa depannya. Multi argumentasi sering bermunculan, seperti akan kemana  saya nanti setelah lulus? Masih adakah lapangan pekerjaan yang tersisa untuk saya?. Pertanyaan tersebut semakin beralasan dengan maraknya sarjana pengangguran yang terdapat dimana-mana. Dukti riil dari statistik BPS mempublikasikan pada bulan February 2010 bahwa diantara 8,59 juta pengangguran di  indonesia, terdapat 1,22 juta atau 14,24 % diantaranya adalah sarjana. Bukan hanya bersaing dari segi kuantitas, namun yang lebih tragis adalah ketika melihat fenomena yang menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan jatah pekerjaan, termasuk jalan KKN.  
Tentunya, Mahasiswa melihat realitas tersebut dengan kacamata yang berbeda. Sebagian melihatnya sebagai beban moril dan ada juga yang melihatnya sebagai tantangan kecil yang mudah dilalui. Ada yang putus asa dan tak mau menyambung asanya lagi dan akhirnya cuek, ada juga yang so’ care alias so’ peduli dengan masa depan kesarjanaannya padahal dalam dunia konkritnya dia tidak mempersiapkan dirinya untuk menjadi sarjana kelas kakap,, ada juga yang mengahlaki status mahasiswanya dengan mematangkan diri dalam meraih sarjana terdepan.
Nah, apapun paradigma kita, itu hak kita masing-masing. Namun seyogyanya, untuk menyikapi persoalan seperti ini, kita membutuhkan prinsip Optimisme. Sarjana pada esensinya adalah sosok yang mempu mengatasi persoalan-persoalan disekitarnya. Nah, jika seorang alumni tidak mempu mengatasi persoalan diatas , maka kesarjanaannya akan dipertanyakan. Bisa jadi ia adalah sarjana tertulis bukan sarjana penulis. Oleh karena itu untuk menjadi sarjana yang berani menghadapi masa depan maka Optimis dan membekali diri dengan skill-skill yang nantinya akan membawa anda ke gerbang pekerjaan adalah kuncinya. So, be brave to be scholar...!!!

No comments:

Post a Comment

Monday 20 February 2012

Jadi Sarjana, Siapa takut????

Oleh : Heriadi, S.Pd.I
 
Seiring menjamurnya arus perkembangan sains di semua lini, kuantitas kaum pelajar juga semakin melesat. Setiap tahun, jutaan alumni dicetak sebagai sarjana. Realitas seperti ini menimbulkan efek plus-minus yang bisa jadi fatal atau sebaliknya.
Meledaknya jumlah mahasiswa setiap tahun yang tidak ditopang
oleh lapangan pekerjaan yang memadai menjadi pertanyaan tersendiri bagi sebagian mahasiswa yang khawatir dengan masa depannya. Multi argumentasi sering bermunculan, seperti akan kemana  saya nanti setelah lulus? Masih adakah lapangan pekerjaan yang tersisa untuk saya?. Pertanyaan tersebut semakin beralasan dengan maraknya sarjana pengangguran yang terdapat dimana-mana. Dukti riil dari statistik BPS mempublikasikan pada bulan February 2010 bahwa diantara 8,59 juta pengangguran di  indonesia, terdapat 1,22 juta atau 14,24 % diantaranya adalah sarjana. Bukan hanya bersaing dari segi kuantitas, namun yang lebih tragis adalah ketika melihat fenomena yang menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan jatah pekerjaan, termasuk jalan KKN.  
Tentunya, Mahasiswa melihat realitas tersebut dengan kacamata yang berbeda. Sebagian melihatnya sebagai beban moril dan ada juga yang melihatnya sebagai tantangan kecil yang mudah dilalui. Ada yang putus asa dan tak mau menyambung asanya lagi dan akhirnya cuek, ada juga yang so’ care alias so’ peduli dengan masa depan kesarjanaannya padahal dalam dunia konkritnya dia tidak mempersiapkan dirinya untuk menjadi sarjana kelas kakap,, ada juga yang mengahlaki status mahasiswanya dengan mematangkan diri dalam meraih sarjana terdepan.
Nah, apapun paradigma kita, itu hak kita masing-masing. Namun seyogyanya, untuk menyikapi persoalan seperti ini, kita membutuhkan prinsip Optimisme. Sarjana pada esensinya adalah sosok yang mempu mengatasi persoalan-persoalan disekitarnya. Nah, jika seorang alumni tidak mempu mengatasi persoalan diatas , maka kesarjanaannya akan dipertanyakan. Bisa jadi ia adalah sarjana tertulis bukan sarjana penulis. Oleh karena itu untuk menjadi sarjana yang berani menghadapi masa depan maka Optimis dan membekali diri dengan skill-skill yang nantinya akan membawa anda ke gerbang pekerjaan adalah kuncinya. So, be brave to be scholar...!!!

No comments:

Post a Comment