Oleh : Heriadi, S.Pd.I
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi yang Maha Esa, karena dengan hidayah-Nya makalah yang berjudul dinasti fathimiyah dan dinasti ayyubiah dapat di selesaikan dengan baik.
Dan tidak lupa pula kita panjatkan selawat dan salam kepada junjungan nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari lembah kegelapan ke tempat terang benderang dan membawa ummatnya dari zaman jahiliyah ke zaman ilmiah.
Dan tidak lupa pula kita panjatkan selawat dan salam kepada junjungan nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari lembah kegelapan ke tempat terang benderang dan membawa ummatnya dari zaman jahiliyah ke zaman ilmiah.
Maka, penulis tidak lupa mengucapkan terimah kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, namun makalah ini tidaklah sesempurna dan sebaik karena masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki lagi. Dengan itu, penulis mengharapkan kritik dan salam agar dapat lebih baik pada masa akan datang.
Manusia tidak akan pernah luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan salam agar dapat membangun pada makalah yang akan datang. Terimah kasih.
Parepare 5 Desember 2011
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Islam Syi’ah untuk mengembangkan konsep Islamnya melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke-VII dan ke-VIII Masehi isu tersebut mengarah kepada gerakan politis.
Khilafah-khilafah yang memisahkan diri itu salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasal dari golongan Syi’ah sekte Ismailiyah yakni sebuah aliran sekte di Syi’ah yang lahir akibat perselisihan tentang pengganti imam Ja’far al-Shadiq yang hidup antara tahun 700 – 756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifaan Fatimiyah sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka menganggap bahwa merekalah ahlulbait sesungguhnya dari Bani Abbas.
Dalam perkembangannya Khilafah Fatimiyah mampu membangun sistem perpolitikan yang begitu maju dan ilmu pengetahuan yang juga berkembang pesat, namun sebagaimana dinasti kekhilafaan sebelumnya, Khilafah Fatimiyah juga mengalami zaman kemunduran dan kehancuran, Sehingga pada waktu itu, dinasti ayyubiah berhasil mengambil posisi fathimiyah sehingga dinasti fathimiyah tidak ada lagi.
Dinasti Ayyubiyah di Mesir berkuasa tahun 1169 sampai akhir abad ke-15 M. menggantikan dinasti Fatimiyah. Pendiri dinasti ini adalah Salahuddin. Ia menghapuskan sisa-sia Fatimiyah di Mesir yang bercorak Syi’a dan mengembalikannya ke faham sunni-ahlu sunnah wal jama’ah-. Reputasi Salahudin bersinar setelah sukses melawan tentara Salib dengan mempersatukan pasukan Turki, Kurdi dan Arab. Kota Yerussalem pada tahun 1187 kembali ke pangkuan Islam dari tangan tentara Salib yang telah menguasainya selama 80 tahun.
Gangguan politik terus-menerus dari wilayah sekitarnya menjadikan wibawa Fathimiyah merosot. Pada 564 Hijriah atau 1167 Masehi, Salahuddin Al-Ayyubi mengambil alih kekuasaan Fathimiyah. Tokoh Kurdi yang juga pahlawan Perang Salib tersebut membangun Dinasti Ayyubiyah, yang berdiri disamping Abbasiyah di Baghdad yang semakin lemah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembahasan
Dalam makalah ini terdapat dua dinasti yang dapat di tinjau iaitu dinasti fathimiyah dan dinasti ayyubiah. Di kedua dinasti ini memiliki sejarah yang berbeda mengikut perkembangannya melalui beberapa prinsip. Ketika di tinjau dari dinasti fathimiyah, terdapat sejarah yang mula sehinggalah berkembangnya dinasti tersebut begitu juga dengan dinasti ayyubiah.
1. Dinasti fathimiyah
ΓΌ Proses Pembentukan Khilafah Fatimiyah.
Fatimiyah adalah dinasti syiah yang dipimpin oleh 14 khalifah atau imam di Afrika Utara (297-567 H / 909-1171 M). Diasti fatimiyah terbentu pada tahun 909 di tunisia.[1]Dinasti ini dibangun berdasarkan konsep Syi’ah, keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (anak Nabi Muhammad). Kata Fatimiyah dinisbahkan kepada Fatimah, karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah binti Rasulullah. Abbas Mahmud al-Aqqad menyatakan bahwa setiap keturunan Fatimah Az-Zahra’ disebut orang-orang Fatimi. Daulah Fatimiyah yang berarti suatu pemerintahan di bawah pimpinan/kekuasaan orang-orang Fatimi (keturunan Fatimah). Daulah Fatimiyah disebut juga dengan Daulah Ubaydiyah yang dinisbahkan kepada pendiri daulah ini yaitu Abu Muhammad Ubaidillah Al-Mahdi (297-332 H / 909-934 M.
Berdirinya Dinasti Fatimiyah bermula dari masa menjelang akhir abad ke-10, bilamana kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaannya yang luas tidak terkoordinasikan lagi. Kondisi seperti ini telah membuka peluang bagi kemunculan dinasti-dinasti kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur dan sultannya memiliki tentara sendiri. Kondisi Abbasiyah ini juga telah menyulut timbulnya pemberontakan dari kelompok-kelompok yang selama ini merasa tertindas serta mebuka kesempatan bagi kelompok Syiah, Khawarij dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik.
B. Fase Pembentukan Dinasti Fathimiyah.
Negara Fatimiyah di Fathimiyah berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan berakhir pada 567 H/1171 M yang pada awalnya hanya merupakan sebuah gerakan keagamaan yang berkedsudukan di Afrika Utara, dan kemudian berpindah ke Mesir Dinasti ini dinisbatkan kepada Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW dan sekaligus istri Ali bin Abi Thalib Radhiallahu anhu. Dan juga dinasti ini mengklaim dirinya sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Zahra binti Rasulullah SAW.[2] Namun masalah nasab keturunan Fathimiyah ini masih dan terus menjadi perdebatan antara para sejarawan.
Dari dulu hingga sekarang belum ada kata kesepakatan diantara para sejarawan mengenai nasab keturunan ini, hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya:
Pertama, pergolakan politik dan madzhab yang sangat kuat sejak wafatnya Rasulullah SAW.
Kedua, ketidakberanian dan keengganan keturunan Fatimiyah ini untuk mengiklankan nasab mereka, karena takut kepada penguasa, ditambah lagi penyembunyian nama-nama para pemimpin mereka sejak Muhammad bin Ismail hingga Ubaidillah al Mahdi .
Dinasti Fatimiyah beraliran syiah Ismailiyah dan didirikan oleh Sa’id bin Husain al Salamiyah yang bergelar Ubaidillah al Mahdi. Ubaidillah al Mahdi berpindah dari Suria ke Afrika Utara karena propaganda Syiah di daerah ini mendapat sambutan baik, terutama dari suku Barber Ketama. Dengan dukungan suku ini, Ubaidillah al Mahdi menumbangkan gurbernur Aglabiyah di Afrika,, Rustamiyah Kharaji di Tahart, dan Idrisiyah Fez dijadikan sebagai bawahan.
Pada awalnya, Syiah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya secara jelas, baru pada masa Abdullah bin Maimun yang mentransformasikan ini sebagai sebuah gerakan politik keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionaris ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fatimiyah.
C. Kemajuan yang Dicapai oleh Khilafah Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah mencapai puncaknya pada periode Mesir, terutama pada masa kepemimpinan al-Mu’izz, al-Aziz dan al-Hakim. Puncaknya adalah masa al-Aziz. Mesir senantiasa berada dalam kedamaian dan kemakmuran rakyatnya karena keadilan dan kemurahhatian sang khalifah dan di antara pencapaian yang telah di capai seperti :
Perluasan wilayah dan pembangunan dalam kerajaan dan wilayah kerajaan.
Istananya bisa menampung 30.000 tamu, masjidnya sangat megah, perhubungan sangat lancar, dan keamanan terjamin.
. Perekonomian dibangun,
Baik dari sektor pertanian, perdagangan maupun industri sesuai dengan perkembangan teknologi pada waktu itu.
Sumbangan dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar, baik dalam sistem pemerintahan, kebudayaan, politik maupun dalam bidang ilmu pengetahuan, kemajuan yang terlihat antara lain.
Sumbangan dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar, baik dalam sistem pemerintahan, kebudayaan, politik maupun dalam bidang ilmu pengetahuan, kemajuan yang terlihat antara lain.
Di Bidang Pemerintahan,
Fatimiyah berhasil mendirikan sebuah Negara yang sangat luas dan peradaban yang berlainan yang jarang disaksikan di Timur. Hal ini sangat menarik perhatian karena sistem administrasinya yang sangat baik sekali, aktifitas artistiknya, luasnya toleransi religiusnya, efesiensi angkatan perang dan angkatan lautnya, kejujuran pengadilan-pengadilannya, dan terutama perlindungan terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Dibidang ilmu pengetahuan
Fatimiyah mendirikan Darul hikmah yang merupakan lembaga akademi yang sejajar dengan lembaga pendidikan di cordova dan baghdad. Darl hikmah ini delengkapi dengan perpustakaan yang bernama Dar al-ulum yang diisi dengan bermacam-macam ilmu dan buku [3].
Adapun sarjana-sarjana dari berbagai macam ilmu seperti Ibn Haitsam, orang barat menyebtnya Alhazen. Beliau adalah ahli dalam ilmu cahaya.
Selain darul hikmah pada dinasti inilah awal berdirinya Universitas al Azhar yang awalnya bertujuan untuk menyebarkan paham syi’ah.
Dari pemaparan tersebut di atas dapatlah kiranya ditarik benang merah dari kemajuan yang dicapai Dinasti Fatimiyah antara lain :
a. Pemimpinnya Bijaksana dan sangat toleransi terhadap non muslim.
b. Militernya kuat.
c. Administrasi pemerintahannya baik.
C. Masa Kemunduran dan Kehancuran Khilafah Fatimiyah
Kemunduran Khilafah Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah berakhirnya masa pemerintahan al-Aziz. Keruntuhan itu diawali dengan munculnya kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro sebagaimana yang dilakukan Dinasti Abbasiyah. Ketidakpatuhan dan perselisihan yang terjadi diantara mereka, serta pertikaian dengan pasukan dari suku barber menjadi salah satu sebab utama keruntuhan dinasti ini.
Khalifah al-Azis meninggal pada tahun 386 H / 996 M lalu digantikan oleh putranya Abu Ali Manshur al-Hakim yang baru berusia 11 tahun. Pemerintahannya ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan. Ia membunuh bebrapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja Kristen, termasuk di dalamnya kuburan suci umat Kristen (1009). Dia memaksa umat Kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, dan mereka hanya dibolehkan menunggangi kedelai; setiap orang Kristen diharuskan menunjukkan salib yang dikalungkan di leher ketika mandi, sedangkan orang Yahudi diharuskan memasang semacam tenggala berlonceng.
Pamor Dinasti Fatimiah semakin menurun karena banyaknya khalifah yang diangkat pada usia masih sangat belia, sehingga di samping mereka hanya menjadi boneka para wazir juga timbul konflik kepentingan di kalangan militer antara unsur Barbar, Turki, Bani Hamdan dan Sudan. Terlebih lagi, para penguasa itu selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah dan adanya pemaksaan ideology Syiah pada rakyat yang mayoritas Sunni.
Dalam perkembangan selanjutnya, dalam tubuh Dinasti Fatimiah masih juga terjadi persaingan memperebutkan wazir. Dalam persaingan itu, bahkan ada yang mengundang kembali tentara Perancis (Salib) untuk dijadikan backing. Maka pada tahun 1167 pasukan Nuruddin az-Zanki kembali memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya untuk membantu melawan kaum Salib tetapi juga untuk menguasai Mesir. Daripada Mesir dikuasai oleh tentara Salib lebih baik mereka sendiri yang menguasaninya. Apalagi perdana menteri Mesir pada waktu itu, Syawar, telah melakukan penghianatan. Akhirnya mereka berhasil mengalahkan tentara Salib sekaligus juga menguasai Mesir.
Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Ia mendapat dukungan dari masyarakat setempat yang mayoritas Sunni. Kesempatan ini, juga bertepatan dengan sakitnya al-Adid, oleh Nuruddin dipergunakan untuk menghidupkan kembali Khalifah Abbasiyah di Mesir. Maka pada tahun 1171 berakhirlah riwayat Dinasti Fatimiah di Mesir yang telah bertahan selama 262 tahun.
Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Ia mendapat dukungan dari masyarakat setempat yang mayoritas Sunni. Kesempatan ini, juga bertepatan dengan sakitnya al-Adid, oleh Nuruddin dipergunakan untuk menghidupkan kembali Khalifah Abbasiyah di Mesir. Maka pada tahun 1171 berakhirlah riwayat Dinasti Fatimiah di Mesir yang telah bertahan selama 262 tahun.
2. Khilafah Dinasti Ayyubiah.
Dinasti Ayubiyyah didirikan oleh Salahuddin Al-Ayubbi yang bersama Shirkuh menaklukan Mesir untuk Raja Zengiyyah Nuruddin dari Damaskus pada 1169. Nama ini berasal dari ayah Salahuddin, Najm ad-Din Ayyub. Pada tahun 1171, Salahuddin menggulingkan Khalifah Fatimiyyah terakhir. Ketika Nur ad-Din meninggal pada 1174, Salahuddin menyatakan perang terhadap anak lelaki muda Nuruddin, As-Salih Ismail, dan menguasai Damaskus. Ismail melarikan diri ke Aleppo, dimana ia terus berjuang melawan Salahuddin hingga terbunuh pada 1181. Setelah itu, Salahuddin mengambil alih kawasan pedalaman hingga seluruh Suriah, dan menakluki Jazirah di Irak Utara. Pencapaian terbesarnya adalah mengalahkan tentara salib dalam Pertempuran Hattin dan penaklukan Baitulmuqaddis pada 1187. Salahuddin meninggal pada 1193 setelah menandatangani perjanjian dengan Richard I dari Inggris yang memberi kawasan pesisir dari Ashkelon hingga Antiokhia kepada tentara salib.
Sultan-sultan yang berkuasa pada zaman dinasti ayyubiah yaitu :
1. Salahuddin yusuf (1174-1193)
2. Al-aziz bin ahalahuddin (1193-1198)
3. Manshur bin al-aziz (1198-1199)
4. Al-adil 1 ahmad bin ayyub (1199-1218 M)
5. Al-kamil (1218-1238 M)
6. Al-adil II (1238-1240)
7. Sholeh najmuddin (1240-1249)
8. Muazzam thauran bin shaleh (1249-1249 M)
9. Syajarat al-dur istri malik shaleh (1249-1249 M)
10. Asyraf bin yusuf (1249-1250 M)
3. Sejarah Munculnya Dinasti Ayyubiyah
Dinasti Ayyubiyah di Mesir berkuasa tahun 1169 sampai akhir abad ke-15 M. menggantikan dinasti Fatimiyah. Pendiri dinasti ini adalah Salahuddin. Ia menghapuskan sisa-sia Fatimiyah di Mesir yang bercorak Syi’a dan mengembalikannya ke faham sunni-ahlu sunnah wal jama’ah-. Reputasi Salahudin bersinar setelah sukses melawan tentara Salib dengan mempersatukan pasukan Turki, Kurdi dan Arab. Kota Yerussalem pada tahun 1187 kembali ke pangkuan Islam dari tangan tentara Salib yang telah menguasainya selama 80 tahun.
Gangguan politik terus-menerus dari wilayah sekitarnya menjadikan wibawa Fathimiyah merosot. Pada 564 Hijriah atau 1167 Masehi, Salahuddin Al-Ayyubi mengambil alih kekuasaan Fathimiya.Tokoh Kurdi yang juga pahlawan Perang Salib tersebut membangun Dinasti Ayyubiyah, yang berdiri disamping Abbasiyah di Baghdad yang semakin lemah.
4. Perkembangan Dinasti Ayyubiyyah
Perkembangan Dinasti Ayyubiyyah tidak terlepas dari peran besar Shalahudin sendiri. Shalahudin mempunyai dua tugas utama sebagai khalifah Ayyubiyyah. Pertama, sebagai seorang negarawan yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah. Kedua, sebagai panglima perang salib yang telah berhasil mengalahkan tentara salib.
Untuk tugas pertama, beliau telah banyak mengadakan pembangunan, membangun administrasi negara, ekonomi, perdagangan, memajukan ilmu pengetahuan, membangun madrasah dan sekolah, mengembangkan dalam bidang kegamaan mazhab ahli sunnah. Dan pada masanyalah banyak bermunculan cendikiawan dalam ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang misalnya seperti Maimoonides yang terkenal sebagai ahli ilmu astronomi, ilmu ke-Tuhanan, tabib, dan terutama sebagai ahli filsafat.
Selain itu juga terdapat Ibn al Baytar (1246 M) sebagai dokter hewan dan medikal dan beberapa karyanya yang sampai saat ini masih terkenal di wilayah Eropa tentang buku ramuan obat Islam “ Management Of The Drug Store.
Kemudian ada juga yang bernama abdul latif seorang ahli kedokteran yang berasal dar bgahdad namun pindah ke mesir.
Kemudian dalam bidang zoologi ada yang bernama muhammad al-damiri.
Dan untuk tugas kedua beliau telah membangun persatuan bangsa Arab di bawah naungan Abbasiyah di Baghdad untuk menghadapi agresi tentara salib, membangun benteng pertahanan militer yang terkenal dengan benteng Solahudin.
5. Akhir Masa Dinasti Ayyubiyyah
Dinasti Ayubiyyah mula merosot ketika mereka mulai bergantung kepada hamba yang dibawa dari Turki dan Mongol sebagai tentera. Hamba-hamba ini mula bertambah kuat dan dikenali sebagai Mamluk. Salah satu tokoh yang menjadi penyebab runtuhnya ayyubiah adalah kerena rekayasa syajatar al-durr yng sebenarnya adalah seorang mamluk yang membunuh putra kerajaan ayyubiah. Kekuasaan Ayubiyyah merosot terus selepas kehilangan Mesir kepada Mamluk pada tahun 1250. Ayubiyyah terus memerintah Damsyik dan Aleppo sehingga tahun 1260 hingga mereka diusir keluar oleh orang Mongol. Kemarahan Mongol yang dapat disekat di Ain Jalut oleh tentera Mamluk sehingga menjadikan Mamluk semakin kuat. Tahun berikutnya hampir seluruh Syria jatuh ke tangan Mamluk. Kerajaan Ayubiyyah sempat masih terus memerintah sebagian kecil kawasan Syria seperti Hamah untuk 70 tahun berikutnya sehingga mereka diduduki oleh Mamluk.
BAB III
Penutup
Kesimpulan :
1. Dinasti fatimiyah adalah dinasti yang berjaya di mesir yang sebelumnya eksis di daerah afrika (Tunisia) yang bermashabkan syi’a ismailiyah.
2. Dinasti fatimiyah memberikan kontribusi yang luar biasa pada beradaan islam dalam bidang politik,pemerintahan, ilmu pengetahuan, dan bidang ekonomi, dan pembangunan serta perluasan wilayah.
3. Kemunduran dinasti fatimiyah disebabkan oleh :
a. Ketidakmampuan dinasti mengatur tentara impor yang mengadakan perselisihan yang berujung pada perpecahan.
b. Pengangkatan khalifah yang usianya masih sangat muda.
c. Hilangnya semangat toleransi beragama di mesir dimana terjadi pemaksaan untuk memeluk syi’ah.
4. Dinasti ayyubiah adalah dinasti yang bermazhabkan sunni yang berada naungan dinasti abbasiyah di baghdad.
5. Majunya dinasti ayyubiyah ditandai oleh di taklukkannya pasukan salib oleh salahuddin al-ayyuby dan pasukannya serta kembalinya palestina sebagai kekuasaan islam. Selain itu dinasti ini dikenal dengan sikap toleransi beragama.
6. Kemunduran ayyubiyah disebabkan oleh pemberontakan mamluk (budak) seperti yang dilakukan oleh syajarat al durr. Ia adalah seorang mamsluk yang berambisi menjadi sultan.
DAFTAR PUSTAKA
Sunanto musyrifah, SEJARAH PERADABAN ISLAM perkembangan imu pengetahuan islam, Jakarta : Kencana,2007.
Farhan Ahmad ishak, Menyiasati Perang Peradaban, Jakarta : Harakah, 2002.
Lubis amani, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Pusat Studi Wanita (PSW), 2005.
Sunanto musyrifa, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : Rajawali press, 2005.
Yatim Badri, Sejarah peradaban islam, Jakarta : PT.raja grafindo Persada, 1997.
No comments:
Post a Comment