Oleh : Heriadi, S.Pd.I
ALLah s.w.t berfirman dalam AL qur;’an surat AL Mujadalah ayat 11 yang artinya “ALLah meninggikan baeberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang berirman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmupengetahuan).dan ALLAH maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Ayat diatas merupakan landasan umat manusia untuk melakukan proses internalisasi dan transformasi dua modal hakiki
dalam kehidupan yaitu iman dan ilmu. Kedua modal diatas merupakan dua hal yang harus disinergikan agar tidak terjadi fluktuasi dalam dampak sosialnya.
Ayat diatas merupakan landasan umat manusia untuk melakukan proses internalisasi dan transformasi dua modal hakiki
dalam kehidupan yaitu iman dan ilmu. Kedua modal diatas merupakan dua hal yang harus disinergikan agar tidak terjadi fluktuasi dalam dampak sosialnya.
Salah satu ruang yang menjadi sarana untuk mencetak generasi bangsa yang beriman dan berilmu adalah lembaga pendidikan atau sekolah. Terkait dengan artikel yang penulis jadikan objek kajian ilmiah diatas, Madrasah sebagai suatu instansi yang diandalkan oleh Kemenag memang suatu langkah yang sangat solutif dalam mewujudan generasi yang beriman dan berilmu. Namun, madrasah adalah suatu sampel yang minoritos dari generasi muslim di indonesia ini. Secara kuantitas, jumlah siswa di sekolah-sekolah umum labih mayoritas jika dibandingkan dengan madrasah saat ini. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang urgen untuk menemukan cara agar lembaga pendidikan umum juga mampu memproduksi generasi yang demikian. Sebab jika harapan pembinaan generasi islam hanya tertumpuk pada madrasah, maka akan terjadi proses pembiaran generasi islam yang menuntut ilmu di Sekolah umum untuk terlepas dari sentuhan nilai-nilai pendidikan islam.
Berangkat dari persoalan diatas, penulis terinspirasi menyusun sebuah tulisan ilmiah tentang urgensi menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan islam di sekolah-sekolah umum sebab jika pembinaan generasi islam hanya mengandalkan madrasah sebagai program unggulan seperti apa yang dikatakan oleh Bapak Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali dalam artikel diatas, maka sama artinya kita membuka jalan terhadap ekspansi sekularisme pada sekolah-sekolah umum yang hanya akan menghasilkan generasi yang kaya akan khasanah intelektual namun miskin dengan nilai-nilai spiritualitas yang nantinya akan menjadi generasi yang cerdas namun amoral.
Esensi dari Tulisan ini adalah selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam, lebih dari itu, tulisan ini merupakan sebuah rangkaian argumentasi dalam menyikapi peran penulis sebagai seoarang mahasiswa muslim yang jiwanya terpanggil untuk merespon dikotomi pendidikan diatas. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Amin........!
Penulis
Heriadi
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nilai-nilai pendidikan islam ?
2. Apa saja yang menjadi problematika proses internalisasikan di sekolah-sekolah umum ?
3. Bagaimana solusi dalam mengatasi problematika implemantasi pendidikan islam?
C. Tujuan penulisan :
1. Untuk mengetahui pengertian nilai-nilai pendidikan islam
2. Untuk mengetahui problematika dalam menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan islam di sekolah-sekolah umum.
3. Untuk mengetahui dan mempraktikan solusi dalam mengatasi problematika mengimplimentasikan nilai-nilai pendidikan islam disekolah umum.
Bab II
PEMBAHASAN
A. Defenisi nilai Pendidikan islam
Nilai pada dasarnya sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusian. [1] Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika dan biasa juga disebut filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolak ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek khidupannya.[2] Adapun yang menjadi sumber nilai dalam islam yakni alquran dan hadis. Kedua sumber tersebut adalah sumber utama dari kajian tentang nilai-nilai dalam kehidupan umat islam.
Secara etimologi, kata pendidikan dalam bahasa yunani dikenal dengan paedagogos yang berarti menuntun anak. Dalam bahasa romawi dikenal dengan educare yang berarti membawa keluar (sesuatu yang ada di dalam). Bahasa belanda menyebut pendidikan dengan nama apvoeden yang berarti membesarkan atau mendewasakan, atau voden artinya memberi makan. Dalam bahasa inggris disebutkan dengan istilah educate/education yang berarti to give moral and intellectual training artinya menanamkan moral dan melatih intelektual.[3]
Menurut abdul fatah jalal pendidikan adalah proses pemberikan pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga terjadi penyucian (tazkiyah) atau pembersihan diri manusia dari segala kotoran yang menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat baginya.[4]
Dari beberapa defenisi diatas baik dari dari perspektif etimologis maupun terminologi, benang merah yang bisa kita tarik adalah bahwa pendidikan merupakan suatu wadah yang bertujuan mendewasakan umat manusia. Mendewasakan dalam artian mengantar manusia ke tingkat yang berahlak, berilmu, dan mampu hidup secara sosial.
Jadi, Nilai pendidikan islam adalah nilai moral yang menjadi tolak ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya yang di ajarkan melalui lembaga-lembaga pendidikan.
B. Problematika internalisasi Nilai-nilai pendidikan islam di sekolah umum.
Jika kita simak artikel diatas yang mengungkapkan statement Menteri agama , maka ada indikasi bahwa akan terjadi fluktuasi dikotomis antara madrasah dan sekolah umum. Ada kesetimpangan antara peran madrasah dengan peran sekolah umum dalam penanaman nilai-nilai islam di kedua lembaga pendidikan tersebut.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang eksis dibawah payung Kemenag memang lembaga fundamen yang berbau islam. Lantas bagaimana dengan Sekolah umum yang ada saat ini. Hingga detik ini seolah-olah terjadi pembiaran terhadap generasi islam yang ada di Sekolah umum untuk menjadi generasi yang berilmu tapi tidak beriman.
Fakta yang nampak jelas di dunia pendidikan pada sekolah umum hari ini adalah siswa di SD,SMP, dan SMA seolah ditekankan hanya pada improvisasi intelectual intelegence (kecerdasan intelektual) semata. Memang benar bahwa, di setiap sekolah-sekolah umum terdapat kurikulum dimana salah satu mata pelajaran yang diajarkan adalah Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diharapkan mampu menstimulasi siswa pada penyadaran spiritual intelegence (kecerdasan spiritual), sayangnya mata pelajaran PAI tersebut kurang efektif dalam pembenahan akhlak generasi bangsa khususnya generasi Islam.
Pendidikan Agama berstatus mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah umum mulai SD sampai dengan Perguruan Tinggi berdasarkan TAP MPRS nomor XXVII/MPRS/1966 Bab I Pasal I yang berbunyi:”Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Universitas-Universitas Negeri”. Namun saat ini Masih banyak kalangan yang menganggap PAI belum memadai dan kurang relevan dengan tuntunan zamannya.[5]. Berbagai kasus asusila yang terjadi pada bangsa ini adalah bukti rill tidak tercapainya tujuan PAI tersebut. Ahli medis dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dr. Roy Tjiong mengatakan bahwa saat ini terjadi setidaknya 2 juta kasus aborsi per tahun di Indonesia. Aborsi tentu tidak diajarkan dalam PAI, namun mengapa bangsa kita menduduki peringkat NO.1 jumlah kasus aborsi di Asia tenggara.
Ada beberapa faktor yang menimbulkan problematika umat di atas yaitu :
1. Guru PAI yang mengajar namun tidak mendidik.
Mengajar adalah sebuah kegiatan dimana hanya terjadi transfer pengetahuan tanpa mengawal atau mengontrol siswa dari segi perkembangan maupun aplkasi ilmu yang diberikan. Lebih dari mengajar, mendidik adalah kegiatan yang tidak sebatas transfer ilmu tapi juga menekankan pembenahan manusia menjadi manusia insan kammil.
Realitas hari ini, guru lebih cenderung pada proses mengajar. Guru hanya sebagai tempat mendapatkan materi dan bertanya. Peranan guru untuk menjadi tauladan siswa sudah terkikis bahkan terancam terdegradasi. Guru tidak ubahnya internet yang hanya membantu siswa mendapatkan materi pelajaran. Padahal pada esensinya guru adalah sosok yang seharusnya mempu mengajarkan siswanya tentang meteri pelajaran dan membina akhlak siswa. Guru biologi hanya fokus kepada kajian biologi, guru matematika hanya fokus pada teori fiisika, bahkan guru PAIpun hanya memberikan teori tanpa proses pengawalan yang ketat pada aplikasi teori tersebut. Contoh kecilnya adalah, guru PAI mengajarkan bahwah dalam islam kita harus jujur, namun pada saat UJIAN, justru Guru hanya tinggal diam menyaksikan siswanya nyontek.
Dengan kondisi yang demikian, bagaimana mungkin niali-nilai pendidikan islam bisa tertanam dihati siswa sebagai tunas bangsa. Guru yang demikian pada realitasnya tidak mencerahkan akhlak bangsa namun memburamkan akhlak bangsa.
2. Kurangnya khalaqah–khalaqah atau kajian-kajian keilmuan dan keislaman yang diprogramkan oleh sekolah.
Jika kita buka kembali pada lembaran sejarah keemasan peradaban islam, pada zaman dinasti abbasiyah di baghdad, ilmu pengatahuan sangat berkembang melebihi eropa saat itu. Perkembangan ini disebabkan oleh kaum muslimin sangat antusias dengan kajian-kajian ilmu yang dilaksanakan dirumah-rumah, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid. Sehingga wajar jika umat islam waktu itu menjadi umat yang beradab, bertakwa dan berilmu tinggi.
Jika kita komparasikan dengan realitas hari ini, keadaan umat muslim pada abad pertengahan dan di abad modern ini mengalami perubahan 180 derajat. Sangat jarang kita saksikan sekolah yang memprogramkan jadwal-jadwal kajian keislaman dan keilmuan. Sekolah hanya mengandalkan proses belajar mengajar dikelas yang waktunya sangat terbatas. Sehingga wajar pula jika hari ini siswa indonesia pada khususnya, menjadi pelajar yang tumpul intelektualitas, dan miskin spirituallitas yang berujung pada budaya malas berfikir dan pembusukan moral.
3. Separatisasi peranan keluarga dan sekolah dalam mengontrol perkembangan anak.
Separatisasi yang dimaksudkan adalah minimnya kerjasama orang tua dan keluarga dalam proses pendidikan peserta didik.
YOUR BLOG IS VERY GOOD
ReplyDeleteAND THANKS, I TAKE IT, FOR A REFERENCE......