Friday 19 April 2019

Guru, teladan dalam spiritualitas


Guru adalah panutan bagi setiap anak didiknya dalam ranah spiritualitas atau hubungan kepada tuhan yang maha Esa. Keteladanan dalam spiritualitas adalah keteladanan
inti yang wajib dimiliki oleh setiap guru sebagaimana yang tercantum dalam falsafah bangsa kita, Pancasila sila pertama, ketuhanan yang maha Esa.
Menurut Abdul wahid hasan, Spiritualitas kehidupan adalah inti keberadaan dari kehidupan. Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri dan kesadaran individu tentang asal, tujuan, dan nasib.  Spiritualitas adalah bekal yang sangat substansial untuk ditanamkan dalam jiwa peserta didik. Albert Einstein bahkan mengatakan Religion without science is blind. Science without religion is paralyzed” (Agama tanpa ilmu adalah buta, Ilmu tanpa agama adalah lumpuh)”.  Ketika spiritualitas sudah mendarah daging dalam diri peserta didik , maka itu artinya mereka  memiliki Internal Control yang baik dan tidak hanya mengandalkan external control.
Internal control adalah “Kemudi” dari dalam diri peserta didik yang dapat mengarahkan setiap perilaku mereka ke jalan yang benar. Sementara External Control adalah faktor – faktor dari luar diri peserta didik yang dapat membantunya dalam berperilaku positif. Contoh external control adalah pengawasan orang tua, guru, dan pihak lain. Dalam hal praktis, sesungguhnya internal control berperan lebih penting daripada external control sebab Internal control berasal dari dalam diri anak yang tidak terbatas ruang dan waktu. Sedangkan External control sifatnya terbatas karena tidak selamanya orang tua dan guru menyertai si anak.
 Contoh kasus misalnya adalah ketika peserta didik tidak berada di sisi orang tua dan luput dari pengawasan guru lantas ia mendapat pengaruh untuk berbuat keburukan atau kejahatan, maka internal control dalam dirinyalah yang berperan untuk menasehati dan menyelamatkannya. Lantas apakah yang akan terjadi jika internal control dalam dirinya lemah?. Besar kemungkinan mereka akan jatuh ke lembah – lembah kemaksiatan.
Itulah yang menimpa banyak generasi kita dewasa ini, maraknya kasus pergaulan bebas, narkoba, minuman keras, dan berbagai kasus kriminal lainnya disebabkan oleh lemahnya “anti virus” anak yaitu control internal atau Spiritualitas. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebut pada tahun 2018, pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5,1 juta orang, dan itu terbesar di Asia. Dari jumlah itu, 40% di antaranya berasal dari kalangan pelajar SD hingga Perguruan tinggi. Data lain yang diungkapkan oleh Komisioner Bidang Pendidikan (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) KPAI bahwa pada tahun lalu, angka kasus tawuran hanya 12,9 persen, tapi tahun ini menjadi 14 persen. Sekali lagi penyebab utama persoalan ini adalah rendahnya spiritualitas anak.
Anak yang mantap spuritualitasnya akan selalu yakin bahwa Tuhan tidak pernah tidur walau sedetik. Ia akan selalu mengawasi hambanya dan akan memberi balasan sesuai perbuatannya.
Nah, Guru adalah sosok yang perannya sangat sentral dalam internalisasi Spiritualitas ini. Guru sebagai orang tua kedua adalah teladan bagi peserta didik. Spititualitas identik dengan ibadah sehingga guru harus mampu mendidik anak dengan keteladanannya dalam beribadah. Misalnya, Bagi umat Islam, sholat lima waktu adalah harga mati yang harus dicontohkan setiap harinya baik dalam lingkungan sekolah maupun luar sekolah oleh semua guru, bukan hanya guru mata pelajaran agama. Begitupun guru yang beragama Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu dengan ritual ibadahnya masing – masing. Selain dalam konteks Ibadah, guru juga perlu menjadikan dirinya teladan dalam menerapkan nilai spiritualtas dalam konteks kehidupan sehari – hari seperti jujur, amanah, ikhlas, cinta sedeqah, mengasihi sesama manusia tanpa memandang suku, agama, dan ras.
Kurikulum nasional dewasa ini bahkan mewajibkan mengharapkan guru untuk mencantumkan nilai spiritualitas dalam rencana pembelajarannya. Namun apalah arti semua itu jika hanya sebatas tertuang dalam perangkat pembelajarann tanpa aktualisasi yang berkelanjutan. Guru tidak tidak bisa hanya bermodal spidol dan papan tulis untuk menyelamatkan generasi bangsa. Guru harus mampu menjadi sosok teladan spiritual sebagaimana seorang Filsuf muslim, Al Gazali mengatakan bahwa tugas guru (Pendidik) yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan dan menyucikan serta membawa hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Jika guru sudah mampu menjadi model dalam penegakan spiritual dan dicontohi oleh peserta didiknya, maka dengan izin Allah Swt, akan tertanam dalam diri peserta didik rasa taat dan takut pada tuhan yang dalam konsep Islam disebut Ihsan yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah Swt. Dengan demikian, besar kemungkinan peserta didik akan terproteksi dari pengaruh – pengaruh negatif yang merusak masa depan mereka.

No comments:

Post a Comment

Friday 19 April 2019

Guru, teladan dalam spiritualitas


Guru adalah panutan bagi setiap anak didiknya dalam ranah spiritualitas atau hubungan kepada tuhan yang maha Esa. Keteladanan dalam spiritualitas adalah keteladanan
inti yang wajib dimiliki oleh setiap guru sebagaimana yang tercantum dalam falsafah bangsa kita, Pancasila sila pertama, ketuhanan yang maha Esa.
Menurut Abdul wahid hasan, Spiritualitas kehidupan adalah inti keberadaan dari kehidupan. Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri dan kesadaran individu tentang asal, tujuan, dan nasib.  Spiritualitas adalah bekal yang sangat substansial untuk ditanamkan dalam jiwa peserta didik. Albert Einstein bahkan mengatakan Religion without science is blind. Science without religion is paralyzed” (Agama tanpa ilmu adalah buta, Ilmu tanpa agama adalah lumpuh)”.  Ketika spiritualitas sudah mendarah daging dalam diri peserta didik , maka itu artinya mereka  memiliki Internal Control yang baik dan tidak hanya mengandalkan external control.
Internal control adalah “Kemudi” dari dalam diri peserta didik yang dapat mengarahkan setiap perilaku mereka ke jalan yang benar. Sementara External Control adalah faktor – faktor dari luar diri peserta didik yang dapat membantunya dalam berperilaku positif. Contoh external control adalah pengawasan orang tua, guru, dan pihak lain. Dalam hal praktis, sesungguhnya internal control berperan lebih penting daripada external control sebab Internal control berasal dari dalam diri anak yang tidak terbatas ruang dan waktu. Sedangkan External control sifatnya terbatas karena tidak selamanya orang tua dan guru menyertai si anak.
 Contoh kasus misalnya adalah ketika peserta didik tidak berada di sisi orang tua dan luput dari pengawasan guru lantas ia mendapat pengaruh untuk berbuat keburukan atau kejahatan, maka internal control dalam dirinyalah yang berperan untuk menasehati dan menyelamatkannya. Lantas apakah yang akan terjadi jika internal control dalam dirinya lemah?. Besar kemungkinan mereka akan jatuh ke lembah – lembah kemaksiatan.
Itulah yang menimpa banyak generasi kita dewasa ini, maraknya kasus pergaulan bebas, narkoba, minuman keras, dan berbagai kasus kriminal lainnya disebabkan oleh lemahnya “anti virus” anak yaitu control internal atau Spiritualitas. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebut pada tahun 2018, pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5,1 juta orang, dan itu terbesar di Asia. Dari jumlah itu, 40% di antaranya berasal dari kalangan pelajar SD hingga Perguruan tinggi. Data lain yang diungkapkan oleh Komisioner Bidang Pendidikan (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) KPAI bahwa pada tahun lalu, angka kasus tawuran hanya 12,9 persen, tapi tahun ini menjadi 14 persen. Sekali lagi penyebab utama persoalan ini adalah rendahnya spiritualitas anak.
Anak yang mantap spuritualitasnya akan selalu yakin bahwa Tuhan tidak pernah tidur walau sedetik. Ia akan selalu mengawasi hambanya dan akan memberi balasan sesuai perbuatannya.
Nah, Guru adalah sosok yang perannya sangat sentral dalam internalisasi Spiritualitas ini. Guru sebagai orang tua kedua adalah teladan bagi peserta didik. Spititualitas identik dengan ibadah sehingga guru harus mampu mendidik anak dengan keteladanannya dalam beribadah. Misalnya, Bagi umat Islam, sholat lima waktu adalah harga mati yang harus dicontohkan setiap harinya baik dalam lingkungan sekolah maupun luar sekolah oleh semua guru, bukan hanya guru mata pelajaran agama. Begitupun guru yang beragama Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu dengan ritual ibadahnya masing – masing. Selain dalam konteks Ibadah, guru juga perlu menjadikan dirinya teladan dalam menerapkan nilai spiritualtas dalam konteks kehidupan sehari – hari seperti jujur, amanah, ikhlas, cinta sedeqah, mengasihi sesama manusia tanpa memandang suku, agama, dan ras.
Kurikulum nasional dewasa ini bahkan mewajibkan mengharapkan guru untuk mencantumkan nilai spiritualitas dalam rencana pembelajarannya. Namun apalah arti semua itu jika hanya sebatas tertuang dalam perangkat pembelajarann tanpa aktualisasi yang berkelanjutan. Guru tidak tidak bisa hanya bermodal spidol dan papan tulis untuk menyelamatkan generasi bangsa. Guru harus mampu menjadi sosok teladan spiritual sebagaimana seorang Filsuf muslim, Al Gazali mengatakan bahwa tugas guru (Pendidik) yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan dan menyucikan serta membawa hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Jika guru sudah mampu menjadi model dalam penegakan spiritual dan dicontohi oleh peserta didiknya, maka dengan izin Allah Swt, akan tertanam dalam diri peserta didik rasa taat dan takut pada tuhan yang dalam konsep Islam disebut Ihsan yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah Swt. Dengan demikian, besar kemungkinan peserta didik akan terproteksi dari pengaruh – pengaruh negatif yang merusak masa depan mereka.

No comments:

Post a Comment