Saturday 20 April 2019

Menjadi guru teladan dalam bermedia sosial


Dunia hari ini terbagi dua. Dunia nyata dan dunia maya. Dunia maya atau biasa disebut dunia internet adalah dunia dimana lebih dari setengah penduduk bumi “berdomisili” disana. Menurut data terbaru yang dirilis We Are Social per Agustus 2017, jumlah pengguna internet global kini menyentuh angka 3,8 miliar
dengan penetrasi 51 persen dari total populasi di dunia.
Berapa banyak pengguna Internet di Indonesia?. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis lebih dari 50 persen penduduk Indonesia atau sekitar 143 juta orang telah terhubung jaringan internet sepanjang 2017. Data ini menunjukan betapa masif penduduk negeri digital tersebut.
Salah satu fasilitas yang ditawarkan oleh internet adalah Media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatshap, BBM, dll. Sayangnya, dari sekian banyak dampak positif dari media sosial, ia menyisakan banyak pula dampak negatif seperti penyebaran berita Hoax, Ujaran kebencian, serta cara bermedsos yang tidak beretika.
Terkait persoalan berita Hoax atau berita bohong, guru seharusnya mengambil peran dalam menangkis berita – berita Hoax .Tapi sayang seribu sayang, media On line terpercaya seperti Detik.com dan CNN Indonesia.com memberitakan bahwa ASN (Aparatur Sipil Negara) dan guru adalah yang paling banyak menyebarkan berita Hoax. Kalau gurunya saja ternyata penyebar Hoax, bagaiamana dengan peserta didiknya. Oleh karena itu, sudah saatnya guru betul – betul menjadikan dirinya teladan dalam bermedia sosial. Dalam menangkal Hoax, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru sebagai berikut :
1.        Jangan terpancing dengan judul provokatif.
            Dalam memahami berita, guru tidak cukup hanya membaca  judulnya saja tapi perlu membaca berita secara holistik sehingga guru bisa memahami secara utuh isi berita.



2.        Periksa faktanya
Setiap kali mendapatkan suatu berita, guru perlu memeriksa kebenaran berita tersebut dengan memastikan bahwa berita tersebut valid dan bersumber dari lembaga yang resmi seperti KPK, Kepolisian, dan lembaga lainnya.
3.        Cermati alamat situs.
Jangan serta – merta membagikan berita tanpa mencermati situs dari berita tersebut. Mereka yang ikut menyebar hoax mayoritas belum mampu membedakan mana situ terpercaya dan mana situs abal  - abal. Situs yang terbaik adalah situs yang sudah terverivikasi oleh dewan Pers. Beberapa contoh situs berita mayor seperti Detik.com, CNN Indonesia.com, Liputan6.com, Kompas. Com, Republika. Co. Id,, Viva.co.id, Sindonews.Com, Tempo. Co, Metrotvnews. Com, Beritasatu.com, Antaranews.com dll.
4.        Periksa keaslian foto
Foto yang tersebar di Medsos menjadi daya tarik pengguna untuk menyebarkan suatu berita tanpa proses validasi sebelummnya. Untuk memeriksa keaslian foto, guru dapat melakukannya dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.
Selain Hoax, “Penyakit” lain dari Medsos adalah Ujaran kebencian (Hate speech). Media sosial seolah menjadi wadah untuk memaki, menghina, dan menghujat. Semakin hari semakin terkikis “kemesraan” dalam bermedsos. Beberapa kasus kekerasan di kalangan pelajar dipicu oleh Ujaran kebencian. Salahsatu penawar ampuh dari “penyakit kronis” ini keteladanan guru dalam bermedia sosial. Guru harus menjadi model dalam bermedsos yang disakasikan oleh peserta didiknya. Guru yang senantiasa berujar sopan dan baik di media sosial akan menularkan energi positif kepada peserta didik.
Persoalan ketiga adalah “miskin” etika di media sosial.  Banyak orang yang sadar di dunia nyata tapi lepas kontrol di dunia maya. Seolah dunia maya adalah dunia berekspresi tanpa batas. Guru dalam hal ini perlu berhati – hati dalam membuat postingan baik itu berupa kata – kata, foto atau gambar. Postingan seperti foto dan video yang kurang sopan tentu bukan teladan yang baik. Begitupun dengan caption yang diposting. Media sosial bukan tempat untuk berkata – kata kasar. Tidak sedikit pengguna memposting kata – kata kasar yang bertujuan menyindir seseorang. Tindakan - tindakan tersebut berpotensi membuat peserta didik melakukan hal yang sama sebab dalam benak mereka adalah “Guruku saja begitu, masa saya tidak boleh”. Lagi dan lagi, guru adalah teladan dan panutan peserta didik. Guru kencing berdiri, Peserta didik kencing berlari.  Oleh karenanya, sekali lagi keteladanan dalam bermedsos perlu diperlihatkan oleh semua guru agar kedepan peserta didikpun dapat mencontoh gurunya yang bijak dalam bermedia sosial.





No comments:

Post a Comment

Saturday 20 April 2019

Menjadi guru teladan dalam bermedia sosial


Dunia hari ini terbagi dua. Dunia nyata dan dunia maya. Dunia maya atau biasa disebut dunia internet adalah dunia dimana lebih dari setengah penduduk bumi “berdomisili” disana. Menurut data terbaru yang dirilis We Are Social per Agustus 2017, jumlah pengguna internet global kini menyentuh angka 3,8 miliar
dengan penetrasi 51 persen dari total populasi di dunia.
Berapa banyak pengguna Internet di Indonesia?. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis lebih dari 50 persen penduduk Indonesia atau sekitar 143 juta orang telah terhubung jaringan internet sepanjang 2017. Data ini menunjukan betapa masif penduduk negeri digital tersebut.
Salah satu fasilitas yang ditawarkan oleh internet adalah Media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatshap, BBM, dll. Sayangnya, dari sekian banyak dampak positif dari media sosial, ia menyisakan banyak pula dampak negatif seperti penyebaran berita Hoax, Ujaran kebencian, serta cara bermedsos yang tidak beretika.
Terkait persoalan berita Hoax atau berita bohong, guru seharusnya mengambil peran dalam menangkis berita – berita Hoax .Tapi sayang seribu sayang, media On line terpercaya seperti Detik.com dan CNN Indonesia.com memberitakan bahwa ASN (Aparatur Sipil Negara) dan guru adalah yang paling banyak menyebarkan berita Hoax. Kalau gurunya saja ternyata penyebar Hoax, bagaiamana dengan peserta didiknya. Oleh karena itu, sudah saatnya guru betul – betul menjadikan dirinya teladan dalam bermedia sosial. Dalam menangkal Hoax, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru sebagai berikut :
1.        Jangan terpancing dengan judul provokatif.
            Dalam memahami berita, guru tidak cukup hanya membaca  judulnya saja tapi perlu membaca berita secara holistik sehingga guru bisa memahami secara utuh isi berita.



2.        Periksa faktanya
Setiap kali mendapatkan suatu berita, guru perlu memeriksa kebenaran berita tersebut dengan memastikan bahwa berita tersebut valid dan bersumber dari lembaga yang resmi seperti KPK, Kepolisian, dan lembaga lainnya.
3.        Cermati alamat situs.
Jangan serta – merta membagikan berita tanpa mencermati situs dari berita tersebut. Mereka yang ikut menyebar hoax mayoritas belum mampu membedakan mana situ terpercaya dan mana situs abal  - abal. Situs yang terbaik adalah situs yang sudah terverivikasi oleh dewan Pers. Beberapa contoh situs berita mayor seperti Detik.com, CNN Indonesia.com, Liputan6.com, Kompas. Com, Republika. Co. Id,, Viva.co.id, Sindonews.Com, Tempo. Co, Metrotvnews. Com, Beritasatu.com, Antaranews.com dll.
4.        Periksa keaslian foto
Foto yang tersebar di Medsos menjadi daya tarik pengguna untuk menyebarkan suatu berita tanpa proses validasi sebelummnya. Untuk memeriksa keaslian foto, guru dapat melakukannya dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.
Selain Hoax, “Penyakit” lain dari Medsos adalah Ujaran kebencian (Hate speech). Media sosial seolah menjadi wadah untuk memaki, menghina, dan menghujat. Semakin hari semakin terkikis “kemesraan” dalam bermedsos. Beberapa kasus kekerasan di kalangan pelajar dipicu oleh Ujaran kebencian. Salahsatu penawar ampuh dari “penyakit kronis” ini keteladanan guru dalam bermedia sosial. Guru harus menjadi model dalam bermedsos yang disakasikan oleh peserta didiknya. Guru yang senantiasa berujar sopan dan baik di media sosial akan menularkan energi positif kepada peserta didik.
Persoalan ketiga adalah “miskin” etika di media sosial.  Banyak orang yang sadar di dunia nyata tapi lepas kontrol di dunia maya. Seolah dunia maya adalah dunia berekspresi tanpa batas. Guru dalam hal ini perlu berhati – hati dalam membuat postingan baik itu berupa kata – kata, foto atau gambar. Postingan seperti foto dan video yang kurang sopan tentu bukan teladan yang baik. Begitupun dengan caption yang diposting. Media sosial bukan tempat untuk berkata – kata kasar. Tidak sedikit pengguna memposting kata – kata kasar yang bertujuan menyindir seseorang. Tindakan - tindakan tersebut berpotensi membuat peserta didik melakukan hal yang sama sebab dalam benak mereka adalah “Guruku saja begitu, masa saya tidak boleh”. Lagi dan lagi, guru adalah teladan dan panutan peserta didik. Guru kencing berdiri, Peserta didik kencing berlari.  Oleh karenanya, sekali lagi keteladanan dalam bermedsos perlu diperlihatkan oleh semua guru agar kedepan peserta didikpun dapat mencontoh gurunya yang bijak dalam bermedia sosial.





No comments:

Post a Comment