Dunia
hari ini terbagi dua. Dunia nyata dan dunia maya. Dunia maya atau biasa disebut
dunia internet adalah dunia dimana lebih dari setengah penduduk bumi
“berdomisili” disana. Menurut data terbaru yang dirilis We Are Social per
Agustus 2017, jumlah pengguna internet global kini menyentuh angka 3,8 miliar
dengan penetrasi 51 persen dari total populasi di dunia.
Berapa
banyak pengguna Internet di Indonesia?. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) merilis lebih dari 50 persen penduduk Indonesia atau sekitar
143 juta orang telah terhubung jaringan internet sepanjang 2017. Data ini
menunjukan betapa masif penduduk negeri digital tersebut.
Salah satu
fasilitas yang ditawarkan oleh internet adalah Media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatshap, BBM, dll.
Sayangnya, dari sekian banyak dampak positif dari media sosial, ia menyisakan
banyak pula dampak negatif seperti penyebaran berita Hoax,
Ujaran kebencian, serta cara bermedsos yang tidak beretika.
Terkait
persoalan berita Hoax atau berita bohong, guru seharusnya mengambil peran dalam
menangkis berita – berita Hoax .Tapi sayang seribu sayang, media On line terpercaya seperti Detik.com dan CNN Indonesia.com memberitakan bahwa ASN (Aparatur Sipil Negara)
dan guru adalah yang paling banyak menyebarkan berita Hoax. Kalau gurunya saja
ternyata penyebar Hoax, bagaiamana dengan peserta didiknya. Oleh karena itu,
sudah saatnya guru betul – betul menjadikan dirinya teladan dalam bermedia
sosial. Dalam menangkal Hoax, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh
guru sebagai berikut :
1.
Jangan terpancing dengan judul provokatif.
Dalam memahami berita, guru tidak
cukup hanya membaca judulnya saja tapi
perlu membaca berita secara holistik sehingga guru bisa memahami secara utuh
isi berita.
2.
Periksa faktanya
Setiap
kali mendapatkan suatu berita, guru perlu memeriksa kebenaran berita tersebut
dengan memastikan bahwa berita tersebut valid dan bersumber dari lembaga yang
resmi seperti KPK, Kepolisian, dan lembaga lainnya.
3.
Cermati alamat situs.
Jangan
serta – merta membagikan berita tanpa mencermati situs dari berita tersebut.
Mereka yang ikut menyebar hoax mayoritas belum mampu membedakan mana situ
terpercaya dan mana situs abal - abal.
Situs yang terbaik adalah situs yang sudah terverivikasi oleh dewan Pers.
Beberapa contoh situs berita mayor seperti Detik.com,
CNN Indonesia.com, Liputan6.com, Kompas. Com, Republika. Co. Id,, Viva.co.id,
Sindonews.Com, Tempo. Co, Metrotvnews.
Com, Beritasatu.com, Antaranews.com dll.
4.
Periksa keaslian foto
Foto yang
tersebar di Medsos menjadi daya tarik pengguna untuk menyebarkan suatu berita
tanpa proses validasi sebelummnya. Untuk memeriksa keaslian foto, guru dapat
melakukannya dengan melakukan drag-and-drop
ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar
serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.
Selain Hoax, “Penyakit”
lain dari Medsos adalah Ujaran kebencian (Hate
speech). Media sosial seolah menjadi wadah untuk memaki, menghina, dan
menghujat. Semakin hari semakin terkikis “kemesraan” dalam bermedsos. Beberapa
kasus kekerasan di kalangan pelajar dipicu oleh Ujaran kebencian. Salahsatu
penawar ampuh dari “penyakit kronis” ini keteladanan guru dalam bermedia
sosial. Guru harus menjadi model dalam bermedsos yang disakasikan oleh peserta
didiknya. Guru yang senantiasa berujar sopan dan baik di media sosial akan
menularkan energi positif kepada peserta didik.
Persoalan ketiga adalah “miskin” etika di media sosial. Banyak orang yang sadar di dunia nyata tapi lepas kontrol di dunia maya. Seolah dunia maya adalah dunia berekspresi tanpa batas. Guru dalam hal ini perlu berhati – hati dalam membuat postingan baik itu berupa kata – kata, foto atau gambar. Postingan seperti foto dan video yang kurang sopan tentu bukan teladan yang baik. Begitupun dengan caption yang diposting. Media sosial bukan tempat untuk berkata – kata kasar. Tidak sedikit pengguna memposting kata – kata kasar yang bertujuan menyindir seseorang. Tindakan - tindakan tersebut berpotensi membuat peserta didik melakukan hal yang sama sebab dalam benak mereka adalah “Guruku saja begitu, masa saya tidak boleh”. Lagi dan lagi, guru adalah teladan dan panutan peserta didik. Guru kencing berdiri, Peserta didik kencing berlari. Oleh karenanya, sekali lagi keteladanan dalam bermedsos perlu diperlihatkan oleh semua guru agar kedepan peserta didikpun dapat mencontoh gurunya yang bijak dalam bermedia sosial.
Persoalan ketiga adalah “miskin” etika di media sosial. Banyak orang yang sadar di dunia nyata tapi lepas kontrol di dunia maya. Seolah dunia maya adalah dunia berekspresi tanpa batas. Guru dalam hal ini perlu berhati – hati dalam membuat postingan baik itu berupa kata – kata, foto atau gambar. Postingan seperti foto dan video yang kurang sopan tentu bukan teladan yang baik. Begitupun dengan caption yang diposting. Media sosial bukan tempat untuk berkata – kata kasar. Tidak sedikit pengguna memposting kata – kata kasar yang bertujuan menyindir seseorang. Tindakan - tindakan tersebut berpotensi membuat peserta didik melakukan hal yang sama sebab dalam benak mereka adalah “Guruku saja begitu, masa saya tidak boleh”. Lagi dan lagi, guru adalah teladan dan panutan peserta didik. Guru kencing berdiri, Peserta didik kencing berlari. Oleh karenanya, sekali lagi keteladanan dalam bermedsos perlu diperlihatkan oleh semua guru agar kedepan peserta didikpun dapat mencontoh gurunya yang bijak dalam bermedia sosial.
No comments:
Post a Comment